Rasanya sudah berabad lama nya tidak menginjak kan kaki di kota Jogya. Setelah menanggalkan gelar kebangsawaan karena stok darah biru saya habis di sedot nyamuk nyamuk tak bertanggung jawab, saya pun menjadi sedikit rikuh bila harus kembali ke kota yang selalu membuat saya betah karena Mirota nya itu, aih lebaaay :D. Ah sudahlah, apalah artinya sebuah gelar apalagi bila akreditasinya gak jelas :p.
Salah satu kuliner khas Jogya yang terkenal adalah nasi kucing. Dulu saya kerap menikmati nasi kucing di gerobak angkringan yang stand by di depan kantor gubernuran. Rasanya endang banget, makan nasi dan lauk yang secuprit diantara lalu lalang kendaraan di jalan Malioboro dan lambaian daun beserta ranting dari pohon yang rindang.
Mengapa di sebut nasi kucing? Bukan karena di bentuk seperti kucing ala bento nya orang Jepun melainkan karena porsinya kecil dan di sajikan dengan selembar daun yang di alasi dengan kertas koran. Di samping itu lauk nya campur aduk dengan nasi nya, persis ala makanan kucing. Eits, jangan mikir ke kucing persia, anggora dan kucing indo lain nya ya. Mereka mah kan mengkonsumsi makanan kalengan dengan penyajian yang gak seeksotis makanan kucing kampung.
Dulu, nasi kuch kuch hotahe ini #eh, nasi kucing ini harganya cuma seribu perak per bungkus, entah sekarang, bisa saja harganya mengikuti kurs dollar yang kini sedang membabi buta. Kan kita mah gitu orang nya, selalu gak mau ketinggalan.
Hari ini karena kerinduan yang sangat akan suasana Jogya, dan kebetulan ada sisa daun pisang yang belum tau mau di buat apa. Akhirnya membuat saya untuk meluruskan tekad membuat nasi kucing.
Nasi kucing versi saya terdiri dari nasi putih, mie goreng, orek tempe dan sambal teri jenki. Biasanya, satu porsi nasi kucing hanya di diami satu atau dua lauk saja. Tapi dasar kemaruk dan ingin praktis, saya bikin tiga lauk yang di gabung di dalam satu bungkus nasi.
Makan nasi kucing kayak gini tuh sensasinya beda, karena aroma daun pisang yang bercampur dengan nasi dan lauk nya itu akan selalu menumbuhkan rasa rindu akan suasana Jogyaaaaaaa, di persimpangan langkah ku terhentiiii Am Em Dm G #eeeeehhhhh, lempar gitar.
Salah satu kuliner khas Jogya yang terkenal adalah nasi kucing. Dulu saya kerap menikmati nasi kucing di gerobak angkringan yang stand by di depan kantor gubernuran. Rasanya endang banget, makan nasi dan lauk yang secuprit diantara lalu lalang kendaraan di jalan Malioboro dan lambaian daun beserta ranting dari pohon yang rindang.
Mengapa di sebut nasi kucing? Bukan karena di bentuk seperti kucing ala bento nya orang Jepun melainkan karena porsinya kecil dan di sajikan dengan selembar daun yang di alasi dengan kertas koran. Di samping itu lauk nya campur aduk dengan nasi nya, persis ala makanan kucing. Eits, jangan mikir ke kucing persia, anggora dan kucing indo lain nya ya. Mereka mah kan mengkonsumsi makanan kalengan dengan penyajian yang gak seeksotis makanan kucing kampung.
Dulu, nasi kuch kuch hotahe ini #eh, nasi kucing ini harganya cuma seribu perak per bungkus, entah sekarang, bisa saja harganya mengikuti kurs dollar yang kini sedang membabi buta. Kan kita mah gitu orang nya, selalu gak mau ketinggalan.
Hari ini karena kerinduan yang sangat akan suasana Jogya, dan kebetulan ada sisa daun pisang yang belum tau mau di buat apa. Akhirnya membuat saya untuk meluruskan tekad membuat nasi kucing.
Nasi kucing versi saya terdiri dari nasi putih, mie goreng, orek tempe dan sambal teri jenki. Biasanya, satu porsi nasi kucing hanya di diami satu atau dua lauk saja. Tapi dasar kemaruk dan ingin praktis, saya bikin tiga lauk yang di gabung di dalam satu bungkus nasi.
Makan nasi kucing kayak gini tuh sensasinya beda, karena aroma daun pisang yang bercampur dengan nasi dan lauk nya itu akan selalu menumbuhkan rasa rindu akan suasana Jogyaaaaaaa, di persimpangan langkah ku terhentiiii Am Em Dm G #eeeeehhhhh, lempar gitar.
posted from Bloggeroid
0 comments:
Post a Comment