Tuesday, 8 November 2016

Suatu hari pernah di oleh-olehi sebotol tauco oleh seorang kawan yang baru saja mudik dari Sukabumi. Hatur lumayan lah, bisa buat masak ini itu, yang ternyata hanya itu doang sih akhirnya, gak pake ini, karena sang tauco asin pisan. Pake seciprit aja, asin nya sudah menohok lidah yang dominan manis ini. Akhirnya tanpa mengurangi rasa hormat terhadap sang kawan, tauco yang tutup botolnya susah di buka itu berakhir sebagai hiasan kulkas nan kosong glondangan.

Setelah beberapa lama tak sua, akhirnya rindu jua. Di pasar terpampanglah tauco yang di bungkus per-sachet yang dengan sengaja bermain-main di depan mata, ngabibita. Untuk meredam rasa persotoyan, dilayangkanlah pertanyaan kepada Bu Haji Ai sang pemilik lapak tentang tingkat keasinannya. Dan sesuai dengan perkataan Bu Haji, tauco yang saya beli ini asinnya masih bisa di toleransi oleh lidah ini.

Tauco itu pasnya diolah bersama tahu yang berkulit. Entah tahu sumedang, tahu pong, atau tahu-tahu goreng berkulit lainnya yang namanya tidak bisa di sebutkan satu-persatu karena memang gak tahu. Tahu tauco ini paling sip bila berasa pedas. Tak peduli mahalnya harga cengek domba, karena yang dibanyakinnya cabe gendot. Cengek domba mah untuk hiasan sajah lah, sebagai tanda mata dan peringatan bahwa harganya masih ada di 70 ribu rupiah perkilonya.

Memasak tahu tauco itu gak usah banyak mikir, hanya mengiris dan menumis. Menumis bawang merah, bawang putih, cabe gendot yang telah diiris, lalu masukan tauco dan tahu, beri garam, gula dan kaldu bubuk bila suka, di oseng-oseng. Beri irisan tomat dan cengek domba utuhan, angkat. Selesai.

posted from Bloggeroid

0 comments:

Post a Comment